Jumat, 28 Juni 2024

BAKTI SOSIAL IMPP-PEKALONGAN 2024

 Acara Bakti Sosial IMPP-Pekalongan

Pada hari Kamis-minggu tanggal 20-23 Juni 2024, masyarakat dan relawan dari berbagai kalangan berkumpul untuk melaksanakan kegiatan Bakti Sosial 2024 dengan tema acara “Mempererat Silaturahmi Dengan Memberi Aksi Nyata Dalam Mengabdi Untuk Masyarakat. Acara ini diselenggarakan oleh IMPP-Pekalongan dengan tujuan mempererat tali silaturahmi, menumbuhkan rasa kepedulian sosial, serta memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar.

Hari Pertama: Pembukaan

Kegiatan dimulai pada Kamis, 20 Juni 2024, dengan pemberangkatan tim IMPP Pekalongan dari berbagai wilayah. Tepat pukul 07.00 pagi, tim dari Pemalang Timur, Tengah, dan Selatan, yang dikoordinator oleh Izza Milla Zahwa, Ghois Mukmin, dan Aufa Naila dkk, berangkat menuju lokasi acara. Sesampainya di lokasi, para relawan melakukan registrasi yang diatur oleh Sie Kestari.

Pembukaan acara yang berlangsung pada pukul 10.00 dibawakan oleh Romadhon dan Dea, berhasil menggugah semangat seluruh peserta. Setelah itu, para peserta menikmati waktu istirahat, sholat, dan makan (ishoma) hingga pukul 12.30.

Mengajar dan Berbagi Inspirasi

Salah satu kegiatan utama pada hari pertama adalah program IMPP-Mengajar yang dimulai pukul 14.00 hingga 16.00, yang dikoordinir oleh Faizah dan Romadhon. Program ini bertujuan untuk memberikan pendidikan dan motivasi kepada anak-anak di sekitar lokasi acara. Sesi ini dilanjutkan dengan Tahlil dan Santunan yang dikoordinir oleh Ilyas dan Ni'am pada pukul 19.30.

Menutup hari pertama, ada kegiatan Hangout Kreatif (Himpunan Ngobrol dan Inspiratif Kreatif) yang berlangsung dari pukul 20.30 hingga 22.00, dikoordinir oleh Romadhon dan Nabil. Kegiatan ini memberikan ruang bagi para peserta dan masyarakat untuk berbagi ide.

Hari Kedua: Aksi Sosial dan Penyuluhan

Jum'at, 21 Juni 2024, dimulai dengan sesi donor darah yang dikoordinir oleh Lela Syifa dan Aulia pada pukul 08.30. Pada pukul 10.00, Dea dan Halimah bertanggung jawab mengkoordinir penyuluhan HIV-AIDS, memberikan pengetahuan penting mengenai pencegahan dan penanganan penyakit tersebut.

Kegiatan dilanjutkan dengan berbagai lomba hiburan untuk anak-anak, dikoordinir oleh Melani dan Haikal, yang berlangsung dari pukul 13.00 hingga 15.30. Selanjutnya sesi penyuluhan kewirausahaan yang dikoordinir oleh Ihsan dan Amel pada pukul 15.30 memberikan wawasan tentang bagaimana memulai dan mengelola usaha.

Hari Ketiga: Khitanan Massal dan Malam Puncak

Sabtu, 22 Juni 2024, dimulai dengan sunatan massal yang berlangsung dari pukul 07.00 hingga 10.30, diikuti dengan pembagian sembako kepada masyarakat yang membutuhkan. Puncak acara bakti sosial ini adalah malam puncak IMPP Bersholawat yang berlangsung dari pukul 19.30 hingga tengah malam.

Hari Keempat: Penutupan dan Evaluasi

Minggu, 23 Juni 2024, menjadi hari penutupan acara dengan kegiatan kerja bakti dan bersih-bersih, serta penyerahan kenang-kenangan kepada masyarakat. Acara berakhir dengan sesi evaluasi dan pamitan dengan warga setempat, meninggalkan kenangan manis akan kebersamaan dan kerja keras para relawan.

IMPP Bersholawat: Merajut Kebersamaan Melalui Kegiatan Religi

Salah satu highlight dari rangkaian acara ini adalah IMPP Bersholawat, yang merupakan kegiatan keagamaan untuk mempererat ukhuwah Islamiyah. Acara ini diawali dengan pra-acara pada pukul 19.30. Acara dibuka tepat pukul 20.00

Acara pembacaan ayat suci Al-Quran dan Sholawat Nabi yang menggetarkan hati seluruh peserta. Setelah itu, sambutan dari Ketua Panitia Ahmad Ziyaulhaq, Ketua Umum IMPP M. Irfan Furqoni, Kepala Desa Ibu Rahayu, dan Bupati H. Mansur Hidayat S.T.,M.Ling, memberikan motivasi dan arahan untuk kegiatan selanjutnya.

Salah satu momen yang paling ditunggu adalah santunan anak yatim, malam harlah IMPP Pekalongan ditandai dengan pemotongan tumpeng, diikuti dengan acara inti pembacaan Simtudduror hingga selesai.

Kedua acara ini, Bakti Sosial 2024 dan IMPP Bersholawat, menjadi wujud nyata dari upaya membangun kebersamaan, kepedulian, dan inspirasi di tengah masyarakat. Melalui kegiatan-kegiatan ini, diharapkan semangat gotong royong dan kepedulian sosial terus tumbuh dan berkembang.

 

Kamis, 27 Juni 2024

Tranformasi Budaya Lokal VS Modernisasi (Studi Literasi Dikalangan Gen Z) - Juara 3 Lomba Essay Nasional 2024 IMPP Pekalongan

 

Tranformasi Budaya Lokal VS Modernisasi (Studi Literasi
Dikalangan Gen Z)

Rifqi Ihza Saputra 

        Pada era modernisasi, budaya-budaya tradisional semakin luntur dengan
keberadaan budaya asing seiring dengan masifnya arus globalisasi. Fenomena ini,
tidak bisa kita hindari, karena ingin ataupun tidak ingin, suka maupun tidak suka,
kita harus bisa menerima sebuah kenyataan ini. Globalisasi memberikan berbagai
pengaruh di berbagai sendi kehidupan dan menjadi sebuah obat yang mampu
menyembuhkan penyakit-penyakit tradisional yang berakar pada kemalasan,
kebekuan, dan ketertinggalan terhadap sikap dan mentalitas sebagai masyarakat
untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan pada masa yang berlaku saat ini.

        Modernisasi adalah suatu perubahan yang pada mulanya kurang
berkembang menjadi lebih maju sesuai dengan tuntutan zaman atau masa kini.
Proses modernisasi yang dialami oleh negara-negara berkembang, yaitu proses
transformasi dari masyarakat tradisional (pramodern) menuju masyarakat yang
lebih maju (modern). Dalam teori modernisasi berfokus pada cara masyarakat
pramodern bertransformasi menjadi masyarakat modern, seperti perubahan nilai
sosial, norma sosial, pola perilaku yang berhubungan dengan sosial, susunan
lembaga di masyarakat, dan segala aspek kehidupan sosial. Sistem teknologi,
ekonomi, sosial dan politik yang berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara
pada abad ke-17 sampai abad ke-19, dan juga terjadi di Amerika Selatan, Asia,
dan Afrika pada abad ke-19 dan abad ke-20 memengaruhi proses transformasi
tersebut.

        Adapun ciri-ciri yang mendasari sebuah negara telah mengalami
modernisasi, yaitu adanya suatu tindakan sosial yang diambil berdasarkan pilihan
bukan dari kebiasaan atau tradisi, mempunyai sistem perekonomian masyarakat
yang berorientasi terhadap efisiensi untuk memelihara pertumbuhan, berkurangnya suatu hubungan antar individu dikarenakan masyarakat lebih cenderung untuk hidup individualis, mampu untuk berpikir ilmiah dan memiliki tingkat organisasi yang tinggi terutama dalam disiplin terhadap diri sendiri, memiliki tingkat perekonomian dan pendidikan yang sudah bersifat merata dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), serta mempunyai bahasa, suku, dan budaya yang berbeda-beda atau biasa disebut dengan masyarakat heterogen yakni masyarakat yang beragam atau bervariasi.

        Masuknya nilai-nilai barat atau budaya-budaya barat di Indonesia seiring
dengan arus globalisasi yang tidak bisa kita hindari, karena ketika suatu negara
menolak ataupun menghindarinya, maka yang terjadi negara tersebut akan
mengalami kesulitan dalam proses hubungan sosial dengan negara lain, atau dapat
dikatakan mengucilkan diri dari masyarakat global. Menurut Huntington, istilah
modernisasi merupakan istilah yang bermakna berlawanan dengan istilah
tradisional, modernisasi juga dapat dikatakan sebagai perubahan dari masyarakat
yang sebelumnya tradisional (pramodern) menjadi masyarakat yang lebih modern.
Berdasarkan pendapat diatas, modernisasi merupakan suatu poses perubahan
ketika masyarakat yang sedang berusaha memperbaharui dirinya untuk
mendapatkan ciri-ciri atau karakteristik seperti masyarakat modern. Di negara
Indonesia proses transformasi dalam berbagai macam aspek kehidupan
masyarakat mengalami perubahan yang lebih maju dan meningkat. Hal ini senada
dengan definisi modernisasi menurut Abdul syam. Sehingga, modernisasi
merupakan ancaman bagi budaya lokal dalam mencitrakan lokalitas khas daerah.

        Kita merupakan generasi penerus bangsa. Kita pula yang akan mewarisi
budaya-budaya yang tercipta di sekitar kita. Sudah menjadi kewajiban bagi
masing_masing individu untuk memiliki kesadaran dan memaknai warisan
budaya sendiri dengan memahami nilai-nilai, serta melestarikan budaya lokal
yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai harganya serta
tidak miliki oleh bangsa asing manapun. Oleh karena itu, dalam menghadapi arus
globalisasi yang memudahkan manusia dalam menjalankan kehidupan, harus
disertai dengan adanya usaha tetap menyeimbangkan eksistensi budaya lokal agar
tetap bertahan. Maka, sebagai generasi muda yang diharapkan sebagai agent of
changes dan agent of conversation tidak boleh apatis terhadap budaya lokal dan
juga tidak boleh tertutup dari budaya luar atau budaya asing, sebagaimana yang
terdapat di dalam kaidah fikih "al muhafazhah ala al qadim al-shalih wal al-akhzu
bil jadidi al-ashlah", bahwa melestarikan kebaikan yang ada dan mengambil sesuatu yang baru itu jauh lebih baik. Akan tetapi, kembali ke akar budaya bangsa
sendiri merupakan tindakan cerdas yang jauh lebih baik. Sehingga, melestarikan
budaya lokal menjadi tugas dan tanggung jawab semua warna negara Indonesia
khususnya bagi generasi pemuda dengan menggunakan metode thinking out of the
box yaitu berpikir melampaui batasan diri agar menghasilkan ide yang inovatif
dan variatif yang mampu mendorong terjadinya transformasi maupun modernisasi
bangsa Indonesia ke arah yang jauh lebih baik melalui efektifitas, perbaikan dan
pengembangan agar budaya luar atau budaya asing tidak semakin menjalar di
kehidupan bangsa Indonesia.

Sangatlah penting dalam menghadapi perkembangan di era modernisasi, dibutuhkannya strategi menghadapi globalisasi budaya asing, yaitu :

  1. Upaya pembangunan terhadap jati diri bangsa Indonesia sebagai nilai identitas masyarakat yang harus dibangun secara kokoh serta diinternalisasikan secara mendalam melalui penanaman nilai-nilai budaya lokal.
  2. Pemahaman atas falsafah budaya yakni Pancasila yang merupakan dasar filsafat bangsa yang mampu menunjukkan nilai-nilai esensial yang berbentuk kebudayaan dari perwujudan pribadi masyarakat Indonesia.
  3. Memanfaatkan akses kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk menjalani hidup yang lebih percaya diri agar dapat mempunyai inisiatif, inovatif, dan kreatifitas dalam mencapai efektivitas dan efisiensi guna melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya lokal. 
        Perlunya perhatian khusus untuk menyelesaikan strategi tersebut, dengan menaikan tingkat literasi pada kalangan Gen Z di antaranya adalah: 1) Membuat

komunitas literasi bahasa Indonesia, 2) Menulis karangan tentang budaya lokal, 3)
Mengubah kosa kata bahasa asing ke bahasa Indonesia, dan 4) Mengenalkan
bahasa Indonesia di kancah internasional.

  1. Membuat komunitas literasi bahasa Indonesia. Hal terpenting dalam menumbuhkan suatu kebiasaan agar semakin dicintai adalah menciptakan lingkungan yang sesuai. Dalam meningkatkan kecintaan bahasa Indonesia, masyarakat perlu membentuk suatu wadah literasi bahasa Indonesia sebagai bentuk promosi budaya dan juga meningkatkan minat literasi agar senantiasa melestarikannya melalui komunitas ini.
  2. Menulis karangan tentang budaya lokal. Setelah memiliki komunitas literasi, cara lain merawat budaya adalah memperbanyak karya dalam bentuk tulisan baik berupa cerita, esai, artikel, bahkan quotes yang tersebar di sosial media. Pemanfaatan sosial media pun sangat berpengaruh besar dalam membuat kampanye “Merawat Budaya Lokal”. Semakin banyak karya yang ditulis, maka semakin meningkat peminat budaya lokal melalui sastra.
  3. Mengubah kosa kata bahasa asing ke bahasa Indonesia. Saat ini, budaya asing sudah masuk ke Indonesia dan sudah menjamur di setiap wilayah. Selain hiburan dan budaya, bahasa pun turut terpengaruh. Contohnya bahasa inggris dan bahasa korea. Pada setiap kemasan, iklan, hingga bahasa sehari-hari masyarakat tidak pernah lepas dari kosa kata asing tersebut. Masyarakat lebih suka menyebut drive-through, scan, annyeonghaseyo, kiyowo, ketimbang mengatakan lantatur, pindai, halo, lucu. 
    Upaya yang harus dilakukan generasi saat ini adalah mencoba mengembalikan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia atau tidak mencoba untuk mencampurkan bahasa Indonesia dan bahasa asing. Masyarakat perlu menggunakan bahasa asing di saat waktu tertentu saja seperti pidato di hadapan orang luar, lomba, berdiplomasi dengan orang luar, atau belajar bahasa asing untuk keperluan pekerjaan. Sedangkan bahasa Indonesia digunakan saat berkomunikasi antar sesama masyarakat Indonesia, kegiatan pendidikan, dan lain-lain. Hal tersebut juga dapat meningkatkan bahasa lokal.
  4. Mengenalkan budaya di kancah internasional. Alasan mengapa budaya lokal perlu dikenalkan ke kancah internasional adalah sudah saatnya generasi bangsa mulai bersaing dalam mempromosikan budaya negaranya masing-masing, salah-satunya melalui konten budaya ataupun seni yang ada di daerahnya. selain itu, mengenalkan budaya lokal juga dapat menimbulkan rasa cinta dan bangga bahwasanya budaya yang kita miliki adalah budaya yang dapat mempersatukan semua bangsa dari sabang sampai merauke dan juga dapat menjadi suatu kebanggaan apabila budaya lokal dapat diminati dikancah internasional.

Kesimpulan 

        Pada era modernisasi, budaya-budaya tradisional semakin luntur dengan
keberadaan budaya asing seiring dengan masifnya arus globalisasi. Fenomena ini,
tidak bisa kita hindari, karena ingin ataupun tidak ingin, suka maupun tidak suka,
kita harus bisa menerima sebuah kenyataan ini. Proses modernisasi yang relatif
dan sangat luas, memberikan berbagai dampak terhadap negara Indonesia.
Dampak positifnya seperti adanya transfer teknologi yang dapat menunjang
kemajuan pembangunan di negara Indonesia. Adapun dampak negatifnya, yaitu
kesenjangan sosial ekonomi, lebih bersikap individualistik karena masyarakat
merasa telah dimudahkan dengan adanya teknologi-teknologi yang maju yang
membuat persepsi bahwa masyarakat tidak membutuhkan orang lain lagi, serta
banyaknya masyarakat yang mengakses budaya-budaya barat tanpa adanya
filterisasi, sehingga budaya-budaya barat sangat mudah masuk ke negara
Indonesia yang pada akhirnya dapat meracuni generasi bangsa Indonesia dan
menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tantangan Gen Z dalam melestarikan bahasa nusantara ini adalah bagaimana
mengemas bahasa Indonesia menjadi bahasa yang diminati nomor satu. Dengan
keadaan yang serba canggih akan teknologi, kalangan Gen Z ini hanya perlu
memanfaatkan sosial media dalam mempromosikannya. Selain itu, mengangkat
kembali budaya-budaya yang menjadi daya tarik tersendiri karena keunikannya.
Dengan demikian, setiap generasinya akan ada estafet penjaga keaslian budaya
yang dikemas mengikuti zamannya.

Daftar Pustaka 

Bunga, Adila Mewangi, “Pengaruh Literasi Digital Terhadap Keterampilan Sosial
dalam Pembelajaran IPS Pada Peserta Didik”, Jurnal Harmony Vol.5 No.1,
Mei 2020.

DN, Robby, Pengaruh Perkembangan Teknologi Informasi Komunikasi Terhadap
Eksistensi Budaya Lokal (Effect Of The Development Of Communication
Information Technology On Local Cultural Existence), (Universitas
Muhammadiyah Ponorogo, 2017). 

E, Nita, Pengaruh Modernisasi Terhadap Tradisi Beragama Masyarakat Islam
Desa Karang Anyar Lampung Selatan (Doctoral dissertation, UIN Raden
Intan Lampung, 2020).

Martono, Sosiologi perubahan sosial: Perspektif klasik, modern, posmodern, dan
poskolonial, (RajaGrafindo Persada Jakarta, 2012).

M, Ambrosius Loho Mfil (2019), Melacak Akar Filosofi Budaya Bangsa (TribunManado.co.id), diakses pada 18 Januari 2024 https://manado.tribunnews.com/2019/08/22/melacak-akar-filosofi-budaya-bangsa

Nur, Hasanah, (2013), Hedonisme di Kalangan Masyarakat Indonesia (kompasiana.com), diakses pada 18 Januari 2024 https://www.kompasiana.comnasir01/5529c4986ea8341011552d2e/hedonisme-di-kalangan-masyarakat-indonesia 

Rif’atul, KM, Eksistensi Budaya Lokal Di Era Millenial (Study Kasus Bahasa
Korea di Masyarakat Cia-cia), (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, 2020).

Sri, Suneki, “Dampak Globalisasi Terhadap Eksistensi Budaya Daerah”, Jurnal
Ilmiah CIVIS (IKIP PGRI Semarang, 2012).

Suryanti, Antisipasi Strategis Perang Nilai Budaya Lokal di Area Global,
(Yogyakarta: Bappeda Provinsi DIY, 2007).

Syani, Abdul, Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan, (Jakarta : PT. Bumi.
Aksara, 2007).

HARMONISASI TRADISI WUNGON: SARANA MENINGKATKAN LITERASI BUDAYA MASYARAKAT BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL - Juara 2 Lomba Essay Nasional 2024 IMPP Pekalongan



HARMONISASI TRADISI WUNGON: SARANA MENINGKATKAN LITERASI BUDAYA MASYARAKAT BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL


Oleh: Hani Hasnah Safitri

        Indonesia memiliki keunggulan sebagai negara multikultularisme yang
damai dan sejahtera dengan pluralitas yang melibatkan keberagaman agama,
budaya, etnis, dan status sosial. Karakteristik masyarakat Indonesia juga dikenal
sebagai masyarakat yang ramah, religus, suka menolong, saling menghargai dan
perilaku moralitas positif lainnya. Terbentuknya karakter nilai-nilai tersebut
disebabkan karena adanya peran adat istiadat atau tradisi yang begitu kuat dalam
kehidupan masyarakat. Meskipun adat dan tradisi di setiap daerah berbeda-beda,
namun secara umum memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang sama. Demikian
karena, falsafah adat dan tradisi yang berkembang di masyarakat Indonesia
umumnya menanamkan perilaku moralitas yang baik dan positif. Tapi faktanya, di
era digitalisasi yang semakin maju sekarang ini, generasi Z atau millennial di
Indonesia masih sangat minim yang menerapkan sikap yang positif dalam
kehidupan sehari-hari di lingkungannya. Kasus yang sering terjadi di lingkungan
sekitar seperti berbicara kasar dan tidak menghormati orang tua (Zahra, 2022).
Terlebih kasus tawuran dan sikap individualisme juga mewarnai rendahnya moral
generasi muda. Data dari UNICEF pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kenakalan
remaja Indonesia diperkirakan mencapai 50% (Masyhud, 2023). Dari data tersebut
sangat menggambarkan bahwa generasi muda Indonesia mengalami degradasi
moral yang sangat tinggi.

        Analisis Astuti menyebutkan bahwa keadaan ini terjadi karena kurangnya
tingkat Pendidikan agama yang kuat sehingga mengakibatkan rendahnya moral
(Astuti, 2017). Pendapat lain mengungkapkan bahwa degradasi moral terjadi karena
pengaruh budaya barat yang sangat jauh berbeda dan tidak sesuai dengan budaya
Indonesia yang sopan, santun dan harmonis (Dirgantara, 2021). Selain itu, salah
satu faktor yang menyebabkan degradasi moral generasi muda Indonesia yakni
lemahnya peran budaya lokal dan memudarnya nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini
tentunya sangat disayangkan karena memunculkan celah untuk melakukan suatu
hal yang tidak baik dan berpotensi mengancam rusaknya suatu generasi. Dari sini
kemudian langkah secara cepat dan tepat harus segera dilakukan untuk
menanamkan nilai-nilai kearifan lokal di masyarakat agar dapat terdidik untuk
memiliki pola hidup yang diwarnai nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari
dan menghargai pluralitas yang ada guna menjauhkan generasi muda dari perilaku
negatif dengan mengimplementasikan nilai-nilai kearifan lokal di lingkungan
masyarakat yang dapat dilakukan melalui sarana tradisi seperti malam Wungon.

        Penulisan essay ini bertujuan untuk memberikan solusi melalui opini dan
inovasi terkait sarana penanaman nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat guna
mencegah degradasi moral generasi muda. Untuk itu, essay ini akan berfokus
membahas mengenai bagaimana mengembangkan sarana tradisi masyarakat untuk
meningkatkan literasi generasi muda yang dikaitkan dengan nilai-nilai kearifan
lokal, kemudian penulis inovasikan dengan memadukan tradisi malam Wungon
yang terintegrasi dengan nilai religius, nilai moral, nilai gotong royong dan nilai
toleransi didalamnya.

        Masyarakat di Kabupaten Pemalang, memiliki salah satu tradisi yang cukup
unik dan menarik, tradisi yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya dengan
maksud untuk ngurip-nguripi budaya masyarakat Pemalang. Tradisi tersebut
dikenal dengan istilah Wungon. Tradisi Wungon biasanya dilakukan pada malam
17-an HUT RI. Desa-desa lain di Pemalang juga memiliki tradisi yang sama, namun
tata cara prosesi di tiap-tiap desa memiliki perbedaan dan ciri khas tersendiri dalam
merealisasikannya, meski setiap desa berbeda dalam pelaksanaannya namun tidak
meninggalkan inti dan makna dari tradisi Wungon itu sendiri.

        Tradisi Wungon merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan oleh
masyarakat Pemalang, tradisi ini umumnya dilakukan dengan doa dan dzikir
bersama serta makan bersama sebagai wujud rasa syukur masyarakat Pemalang atas
limpahan rahmat dan nikmat kemerdekaan yang telah diberikan Allah SWT kepada bangsa Indonesia. Acara Wungon pada masyarakat Pemalang dilakukan dengan mengumpulkan semua warga desa dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa
ditempat yang disediakan seperti lapangan desa, balai desa, atau rumah warga yang
luas. Tradisi Wungon ini tetap dilestarikan dan rutin diadakan setiap tahunnya oleh
masyarakat Pemalang di berbagai desa, karena tidak berlawanan dengan ajaran
agama, serta pelaksanaan tradisi yang melibatkan generasi muda tentunya dapat
dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan sikap terpuji dan menguatkan nilai-
nilai kearifan lokal dengan tetap melestarikan budaya Wungon di Pemalang kepada
generasi seterusnya.

        Tradisi Wungon memiliki rangkaian kegiatan yang tidak jauh berbeda,
yakni diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia raya, dilanjut dengan doa dan
dzikir bersama, sambutan-sambutan, pemotongan tumpeng, makan bersama dan
yang terakhir malam Wungon ditutup dengan penyerahan hadiah lomba agustusan.
Umumnya, sebelum pelaksanaan malam Wungon ini warga desa mengadakan
berbagai lomba agustusan dan menghias rumah dengan memasang lampu hias
warna-warni dan memasang bendera disetiap tepi jalan untuk menyemarakkan
HUT RI, kegiatan ini tujuannya untuk mempererat hubungan yang baik antar
masyarakat desa dan memupuk sikap gotong royong. Hal ini didasari penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa tradisi Wungon merupakan akulturasi budaya
dan ritual keagamaan yang mengandung rasa toleransi dan nasionalisme dalam
pelaksanaan tradisinya (Muhammad, 2016). Hasil penelitian lain menunjukkan
bahwa tradisi Wungon yang dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta dan Jawa
mengandung nilai kebersamaan, rasa toleransi, dan kerukunan (Nadia, 2006).
Berdasarkan paparan tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji nilai-nilai kearifan
lokal yang penulis integrasikan dalam tradisi malam Wungon.
        Berikut penulis menguraikan peran tradisi malam Wungon dalam
menginternalisasikan nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat. 

Tradisi Wungon sebagai Penanaman Nilai Religius
        Eksistensi tradisi Wungon sebagai budaya nusantara seolah dapat
menanamkan nilai religius, hal ini dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama,
bentuk nilai religius dalam tradisi Wungon berupa keyakinan masyarakat Pemalang
bahwasannya Allah SWT lah yang memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dan hanya kepada Allah SWT lah masyarakat Pemalang meminta
perlindungan atas negara dan daerahnya. Tradisi Wungon merupakan sarana yang
tepat dalam penanaman nilai religius. Kedua, realita ini dapat diamati dari kegiatan
tradisi Wungon yang diisi oleh rangkaian kegiatan salah satunya yaitu istighosah
atau do’a bersama yang bertujuan memohon pertolongan dari Allah SWT,
istighosah dalam tradisi ini dipimpin oleh seorang imam dengan melantunkan ayat-
ayat Al-Qur’an, istighfar, sholawat, tahlil, wirid dan ditutup dengan do’a bersama,
serta dilakukan secara berjamaah yang tentunya lebih memberikan rasa semangat
pada masyarakat Pemalang yang mengikutinya. Kegiatan ini sebenarnya adalah
proses membangkitkan jiwa agar memiliki keyakinan kepada Allah dan tentu
berkaitan erat dengan sisi spiritual/religius seseorang. Sejalan dengan penelitian
Putra yang menjelaskan bahwa kegiatan ini berisi dzikrullah dengan tujuan
taqarrub ilaallah (mendekatkan diri kepada Allah SWT) sebagai representasi nilai
religius (Putra, 2017). 

Tradisi Wungon sebagai Pembentuk Nilai Moral
        Nilai-nilai kearifan lokal yang berbicara tentang moral atau akhlak tentunya
sangat erat kaitannya dengan kebiasaan manusia. Dalam tradisi Wungon juga
mempunyai peranan penting sebagai sarana pembentuk nilai-nilai moral pada
masyarakat khususnya generasi muda, tentunya dengan membentuk dan
menanamkan nilai-nilai moral yang baik pada generasi muda maka akan terbentuk
karakter yang baik dan dapat mencegah terjadinya degradasi moral. Terkait dengan
nilai moral, masyarakat Pemalang menjalankan tradisi Wungon yang menunjukkan
bagaimana menghormati orang yang lebih tua dengan mempersilakan yang lebih
tua duduk di depan dan yang muda duduk di belakang. Tradisi Wungon mempunyai
prinsip falsafah hidup bermasyarakat yaitu andhap asor yang berarti moral/etika
sopan santun dan kerendahan hati. Hal ini terlihat dari sikap dan tindakan
masyarakat pada acara Wungon, seperti dari cara mereka duduk bersila di atas tikar,
cara mereka berjalan melewati orang yang lebih tua dengan membungkukkan badan
diikuti dengan ucapan “nuwun sewu”, dan dari cara mereka berbicara dengan orang
yang lebih tua dengan lembut dan menggunakan bahasa krama/bahasa yang sopan.
Ajaran moral seperti itu telah diintegrasikan ke dalam tradisi Wungon.

Tradisi Wungon sebagai Wujud Nilai Gotong-royong
        Tradisi Wungon merupakan sarana yang tepat untuk mengaplikasikan nilai
gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Realita ini dapat diperhatikan dari
dua konteks; Pertama, terlihat dari sikap gotong royong warga yang berpartisipasi
dalam proses pelaksanaan tradisi Wungon dari awal hingga akhir acara, seperti
saling bahu membahu dalam mengadakan kemeriahan lomba, saling berbagi nasi
tumpeng yang telah disediakan, bapak-bapak dan pemuda-pemuda saling bantu-
membantu membuat panggung acara, sedangkan ibu-ibu dan pemudi-pemudi
bertugas menyajikan hidangan. Hal ini seolah mengindikasikan bahwa tradisi
Wungon memiliki makna filosofis sebagai kearifan lokal dalam masyarakat yang
menggambarkan kebersamaan. Kedua, tradisi Wungon mengajarkan kepada
generasi muda, terlebih anak-anak kecil untuk ikut berpartisipasi dalam
menyelenggarakan acara Wungon dengan turut serta membantu menggelar tikar
untuk tempat duduk warga saat malam Wungon dimulai. Kebersamaan,
kekompakan, kekeluargaan, dan keramahan, serta indahnya berbagi sangat terlihat
dan dirasakan masyarakat dalam tradisi Wungon. 

Tradisi Wungon sebagai Representasi Nilai Toleransi
        Potensi kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi Wungon dapat
dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengenalkan dan mengedukasi nilai toleransi
kepada masyarakat khususnya generasi muda. Nilai toleransi ini dapat terlihat dari
dua hal. Pertama, tradisi Wungon sangat menekankan nilai musyawarah, seperti
sebelum melaksanakan tradisi Wungon ketua RT setempat akan melakukan
musyawarah dengan beberapa warga desa mengenai prosesi acara malam Wungon
yang akan dilaksanakan. Disisi lain, warga juga menghargai pendapat orang lain
sebagai bagian penting dari harmoni. Penyampaian pendapat saat musyawarah
menjadi salah satu aspek dalam toleransi, musyawarah atau urun rembuk menjadi
wujud toleransi antar sesama untuk mencari kesepakatan bersama dalam hal
tertentu (Azmi, 2022).
        Kedua, menjaga silaturahmi/persaudaraan dengan mengutamakan rasa
hormat dan memahami hakikat perbedaan dalam masyarakat, seperti tradisi
Wungon yang diikuti oleh berbagai jenis kalangan, dari mulai anak-anak, remaja, hingga orang dewasa dengan berbagai latar belakang agama maupun status sosial
yang tentunya dapat menjaga tali persaudaraan sesama manusia. Tindakan tersebut
menunjukkan bahwa tidak ada ketentuan bahwa hanya warga muslim saja yang
boleh mengikuti tradisi ini, tetapi warga yang beragama lain juga bisa mengikuti
tradisi Wungon. Hal ini seperti mengajarkan bahwa agama islam merupakan agama
yang menghargai pluralisme masyarakat. Toleransi masyarakat terlihat dan
terpelihara melalui pelaksanaan tradisi yang dilakukan secara bersama-sama oleh
masyarakat tanpa memandang atau membedakan latar belakang agama, ras, dan
etnis, sehingga masyarakat mampu mewujudkan tradisi tersebut agar dapat
terlaksana dengan baik.

        Nilai-nilai baik yang ditunjukkan oleh para warga dalam menyelenggarakan sebuah tradisi tersebut yang kemudian semakin memotivasi penulis untuk beropini melalui karya essay ini, bahwa kearifan lokal dan budaya masyarakat sebagaimana yang penulis uraikan dalam tradisi Wungon menjadi solusi terbaik guna mengatasi lemahnya kasus-kasus moral pada generasi muda di Indonesia akibat dari lemahnya literasi mengenai budaya di sekitarnya. Nilai-nilai kearifan lokal yang terintegrasi dalam tradisi Wungon menjadikan masyarakat khususnya generasi Z dan millennial belajar makna perilaku positif secara langsung melalui sebuah tradisi. Tradisi Wungon yang melibatkan generasi muda sebagai bentuk upaya untuk dapat menanamkan dan menguatkan nilai-nilai kearifan lokal generasi muda dengan tetap melestarikan budaya masyarakat Pemalang. Selain itu, tradisi ini dapat meningkatkan literasi generasi muda mengenai budaya di sekitar mereka. Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai kearifan lokal sejak dini akan lebih mudah terrealisasikan demi terjaganya tradisi dan budaya masyarakat Pemalang dan mewujudkan Indonesia sebagai negara yang memiliki generasi muda yang berkualitas tanpa adanya perpecahan. Selain itu,
essay ini juga dapat dijadikan sebagai landasan dalam mengintegrasikan praktik-
praktik budaya sebagai penghantar kerukunan, serta meningkatkan literasi generasi
muda terkait nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada sebuah tradisi di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, A. Y. (2017). Analisis Faktor-Faktor Penyebab Degradasi Moral Remaja
Dalam Perspektif Islam di Desa Jojog Kecamatan Pekalongan Kabupaten
Lampung Timur. IAIN Metro.

Azmi, M. (2022). Pengamalan Nilai-Nilai Toleransi Siswa SMA Negeri 3 Palangka
Raya sebagai Bentuk Moderasi Beragama. ISLAMIKA, 4(1), 37–46.
https://doi.org/10.36088/islamika.v4i1.1594

Dirgantara, Y. (2021, May 11). Fanatisme Budaya Barat dan Dampak Degradasi
Moral. Duta Damai Yogyakarta. https://dutadamaiyogyakarta.id/fanatisme-
budaya-barat-dan-dampak-degradasi-moral/

Masyhud. (2023). Cegah Kenakalan di Kalangan Pelajar—Bhirawa—UMM dalam Berita  Koran  Online | Universitas Muhammadiyah Malang. Https://Www.Umm.Ac.Id/Id/Arsip-Koran/Bhirawa/Cegah-Kenakalan-Di-Kalangan-Pelajar.Html. https://www.umm.ac.id/id/arsip-koran/bhirawa/cegah-kenakalan-di-kalangan-pelajar.html

Muhammad, W.I. (2016). REINFORCE NATIONALITY THROUGH RELIGIOUS LOCAL TRADITION (CASE STUDY OF MALAM TIRAKATAN IN YOGYAKARTA). 14(2).

Nadia, Z. (2006). Makna Tirakatan bagi masyarakat Santri Yogyakarta: Studi atas
Tradisi Malam Tirakatan dalam rangka memperingati HUT RI pada
Masyarakat Kauman dan Mlangi Yogyakarta [Universitas Gadjah Mada].
https://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/32819

Putra, K. S. (2017). IMPLMENTASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MELALUI
BUDAYA RELIGIUS (RELIGIOUS CULTURE) DI SEKOLAH. Jurnal
Kependidikan, 3(2), 14–32. https://doi.org/10.24090/jk.v3i2.897

Zahra, M. (2022). 5 Bentuk Degradasi Moral yang Sering Dijumpai di Lingkungan
Sekitar. https://www.idntimes.com/life/inspiration/mutia-zahra-4/bentuk-
degradasi-moral-c1c2


Rabu, 26 Juni 2024

JARAN KEPANG & GENERASI Z: ANTARA IDENTITAS KULTURAL & STRATEGI BUDAYA - Juara 1 Lomba Essay Nasional IMPP Pekalongan 2024

 JARAN KEPANG & GENERASI Z: ANTARA IDENTITAS
KULTURAL & STRATEGI BUDAYA


Ade Muhamad Baihaq1, M Nahda Wafian Salam2


Pendahuluan
        Indonesia memiliki budaya dan seni tradisional yang begitu banyak,
tersebar disetiap sudut daerah dari Sabang sampai Merauke. Budaya dan seni
tradisional rakyat merupakan hasil dari refleksi cara hidup sehari-hari masyarakat
yang bersumber pada mitos, sejarah atau cerita rakyat yang memiliki nilai-nilai
yang bersifat profan atau sakral dan biasanya diwariskan secara turun-temurun dari
generasi ke generasi (Rostiyati, 2003). Budaya dan seni tradisional merupakan
peninggalan leluhur yang harus tetap dilestarikan, karena memiliki peranan penting
yakni sebagai identitas bangsa yang mampu menyatukan dan menunjukkan jati diri
bangsa.
        Kesenian dan kebudayaan merupakan satu kesatuan utuh dimana keduanya
tercipta dari budi dan akal manusia yang diungkapkan dengan penuh keelokan.
Namun seiring berjalannya waktu dimana modernisasi yang semakin marak, esensi
dari kesenian sudah tidak hanya digunakan untuk berbagi cerita semata namun
sudah mulai berkembang menjadi salah satu industri pariwisata daerah yang sangat
menjanjikan. Salah satu contoh kesenian yang masih eksis sampai sekarang yaitu
kesenian tari Jaran Kepang Putra Rogojati, kesenian tersebut merupakan kesenian
rakyat yang terdapat di Desa Jojogan, Kecamatan Watukumpul, Kabupaten
Pemalang.
        Menurut Stamford Raffles dalam bukunya History of java seni tari jaran
kepang sendiri lahir di lingkungan masyarakat dengan kultur agraris, tarian ini
menjadi bagian dari salah satu ritual yang dilakukan oleh masyarakat terdahulu
untuk menunjukkan rasa syukur atas semua yang telah diberikan oleh sang
pencipta. Jaran kepang merupakan kesenian tari yang menggunakan media
anyaman bambu berbetuk kuda. Unsur magis terasa sangat kuat ditandai dengan
gerakan para penarinya yang tidak terkontrol. Keunikan kesenian tari jaran kepang
dipemalang adalah dengan adanya inovasi seperti adanya adegan cukup unik dimana ada dua atau tiga orang pemain dijadikan manusia setengah robot yang bisa
duduk atau berdiri berjam-jam lamanya.
        Adanya kesenian tari jaran kepang menunjukan kekayaan budaya di
kabupaten Pemalang dan menjadi simbol identitas Kabupaten Pemalang, sudah
semestinya para generasi muda melestarikan kesenian tersebut. Generasi yang
bertanggung jawab melestarikan kesenian sebagai warisan leluhur yang terdapat di
Kabupaten Pemalang adalah Generasi Z. Generasi Z atau Gen Z merupakan orang
yang lahir pada kurun Tahun 1995 - 2010. Mereka disebut penduduk asli era
digital, karena lahir di dunia digital dengan teknologi lengkap Personal Computer
(PC), ponsel, perangkat gaming dan internet.
        Keahlian menguasai teknologi oleh Gen Z diharapkan mampu membawa
kesenian tradisional daerah pada level internasional melalui platform media sosial,
namun pada kenyataanya kesenian tradisional lama kelamaan terkikis ditelan arus
kesenian modern yang lebih di gemari oleh generasi Z. Bahkan tidak menutup
kemungkinan banyak kawula muda yang tidak tahu dengan kesenian dari daerahnya
sendiri. Hal seperti ini mungkin dampak dari beberapa faktor, salah satunya makin
santernya arus kebudayaan dan kesenian barat melalui platform media sosial. Tak
jarang kawula muda beranggapan bahwa kesenian tradisional dianggap kuno dan
ketinggalan zaman.
        Persoalan yang terjadi merupakan tuntutan dunia global, pewarisan
kesenian tradisional mengalami hambatan yang cukup signifikan. Seiring dengan
derasnya arus modernitas menjadi salah satu ancaman bagi kesenian tradisional
yang lambat laun ditinggalkan oleh kawula muda. Lantas bersamaan dengan hal
tersebut, tentu harus ada sebuah inovasi yang dapat mengangkat kesenian
tradisional di kalangan kawula muda. Diperlukan strategi kreatif dan inovasi guna
melestarikan kesenian tradisional yang sudah menjadi ruh kehidupan bagi
masyarakat terdahulu. Dari latar belakang tersebut penulis mengangkat tulisan ini
dengan judul “Jaran Kepang & Generasi Z: Antara Identitas Kultural & Strategi
Budaya”.

Pembahasan
Kesenian adalah segala sesuatu keindahan yang diciptakan oleh manusia
yang dapat membangun perasaan dan persaudaraan bagi dirinya dan orang lain.
Istilah seni berasal dari bahasa "sanskerta" yaitu sani yang diartikan pemujaan,
persembahan dan pelayanan yang erat dengan upacara keagamaan yang disebut
kesenian. Seni juga menjadi Identitas diberbagai daerah, bahkan terkadang seni
menunjukkan seberapa daerah tersebut dipandang oleh masyarakat/daerah lain.
        Bertolak dari tuntutan dunia global, pewarisan tradisi-tradisi untuk
menopang dan mempertahankan kolektivitas sosial mengalami hambatan yang
cukup signifikan. Salah satu penghambat proses pewarisan tradisi di era
pascamodernitas adalah memudarkan identitas kultural yang selama ini melekat
pada diri masyarakat pendukung. Atas pertimbangan itulah, pada subbab ini akan
diuraikan dua hal, yakni(1) identitas kultural Masyarakat dan (2) strategi inovasi
kesenian tradisional dalam bentuk multimedia.
Identitas kultural Masyarakat Kabupaten Pemalang
        Masyarakat Kabupaten Pemalang terdiri dari berbagai macam etnik dan multikultural, secara tradisional latar belakang kebudayaan di kabupaten Pemalang lebih ditentukan tipologi kebudayaan masyarakat petani dan nelayan. Tipologi masyarakat petani misalnya, adalah masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tinggal di pedesaan dan bermata pencaharian sebagai petani, dan mereka sejak lama terikat dalam suatu ikatan tradisi dan perasaan. Dengan terus memegang tradisi dan perasaan itulah, maka mereka menganggap bahwa dunia pertanian dan dirinya merupakan bagian yang saling berhubungan erat. Mereka bekerja di sawah bukan semata-mata untuk mencari keuntungan, tetapi lebih cenderung untuk mencukupi keperluan keluarganya yang sederhana atau hak untuk hidup pada paras subsistens (Irianto, 2016).
        Sementara tipologi masyarakat nelayan adalah lebih bertolak dari hal-hal
yang melingkupi pekerjaan yang berhubungan dengan laut dan sumber daya yang ada di dalamnya. Laut sebagai tempat kerja dalam satu segi, dan daratan sebagai tempat  tinggal, menggambarkan perbedaan-perbedaan sifat antarkeduanya. Karena itu, nelayan pada dasarnya memiliki tingkat adaptasi kepada lingkungan secara baik. Keseluruhan hal itu tidak mudah untuk dikerjakan, oleh karena itu, sebetulnya kaum nelayan pada dasarnya adalahkelompok orang yang memiliki keberanian menghadapi resiko. Pengalaman hidup mencari ikan di lautan, menjadikan nelayan berani berspekulasi.

Kedua tipologi kebudayaan tradisional masyarakat itulah yang telah menentukan identitas kultural Masyarakat Kabupaten Pemalang, namun seiring dengan perkembangan pengetahuan global justru menjadi sulit untuk dipertahankan. Dari sinilah strategi kebudayaan sangat dibutuhkan untuk menentukan arah kehidupan, sebab ia memuat dua fungsi pokok, yaitu sebagai pedoman memperkuat identitas kebudayaan Pemalang dan pedoman dalam pengembangan pengetahuan budaya masyarakat Pemalang yang terus menerus berubah.

Strategi inovasi kesenian tradisional dalam bentuk multimedia
        Keberadaan kesenian tradisional seringkali disikapi sebagai ekspresi dan identitas kultural sekaligus berbasis kearifan dan keunikan lokal suatu masyarakat (Irianto, 2015 dan Murphy, 2017). Dengan masuknya arus globalisasi ke Indonesia, kesenian tradisional menghadapi tantangan nilai baru yang melahirkan perangkat–perangkat praktis. Lahirnya perangkat–perangkat praktis yang berbasis informasi, komunikasi, dan teknologi melahirkan industrialisasi yang selalu mengarah pada orientasi pasar. Untuk itulah,diperlukan strategi untuk bisa merevitalisasi kesenian tradisi agar tetap bertahan sekaligus mengimbangi tuntutan globalisasi.

        Salah satu strategi yang harus dilakukan yaitu dengan melakukan promosi dan pemasaran yang merambah di dunia media sosial, dalam hal ini adalah dengan
dokumentasi setiap kegiatan kesenian yang dilakukan secara masif, dan memasarkanya melalui platform media sosial seperti Instagram, Tiktok, Youtube,
Website dan media sosial lainya. Desa Jojogan, Kec. Watukumpul, Kabupaten
Pemalang, Jawa Tengah, merupakan salah satu daerah di jawa tengah yang masih
secara masif melestarikan kesenian dalam hal ini tari jaran kepang. Dokumentasi yang dalam hal ini menjadi sebuah wadah guna melestarikan kesenian di daerah
tertentu. Namun disamping melakukan pendokumentasian harus diiringi dengan 2
cara yang dapat dilakukan:

  1. Culture Experience. Cara ini adalah dengan cara kita terjun langsung untuk mempelajari budaya masing-masing daerah sesuai daerahnya. Contoh kesenian tari jarang kepang di desa jojogan. Hal ini penting untuk dipelajari dari generasi ke kegenari agar tetap lestari sehingga kita dapat memperkenalkan sekaligus mempertontonkan budaya kepada orang banyak bahkan pada dunia.
  2. Culture Knowledge. Cara ini yaitu dengan membuat pusat informasi kebudayaan masing-masing, sehingga setiap orang dapat dengan mudah untuk menemukan informasi tentang suatu kebudayaan disuatu daerah. Di era modern sekarang ini situs website bisa menjadi alternatif yang mudah untuk dijadikan sarana menyediakan segalan sumber informasi tersebut.

        Mempertahankan sesuatu yang sifatnya tradisional dan kuno pada saat ini
mungkin menjadi sebuah hal yang sangat sulit, yang mana banyak anak-anak muda
seperti Generasi Z mulai meninggalkan budaya daerahnya sendiri dan lebih
cenderung gemar mengikuti trend budaya dari luar daerah bahkan luar negeri.
Dengan adanya permasaahan seperti ini menjadi keharusan bagi pemangku
kepentingan terkhususnya dan semua masyarakat desa jojogan pada umumnya
untuk dapat melestarikan keseniaan tari jaran kepang agar tidak tergerus zaman.
        Aset seni tari dan kearifan lokal berupa dokumentasi merupakan suatu hal
penting yang dapat dijadikan sebuah ciri khas di desa jojogan Pemalang,
Mengoptimalkan dengan cara mendokumentasikan kegiatan seni budaya dan
kearifan lokal bisa dijadikan sebagai strategi promosi dan pencitraan sosial budaya
bahwa di Pemalang memiliki banyak kesenian dan kebudayaan. Promosi seni
budaya dan kearifan lokal bisa melalui dokumentasi-dokumentasi berupa foto, film
dokumenter, video dokumenter, dan lain-lain. Manfaat dari dokumentasi sendiri
adalah guna media promosi agar seluruh masyarakat Pemalang tau bahwa di desa
jojogan merupakan salah satu desa seni tari jaran kepang yang masih dilestarikan sampai sekarang.

        Menumbuhkan dan melestarikan kesenian tradisional sangat penting untuk
meningkatkan kecintaan terhadap budaya lokal. Ditambah dukungan dari
pemerintah daerah setempat untuk menjadikan desa jojogan sebagai desa seni.
Secara tidak langsung dengan dikenalnya desa jojogan sebagai desa seni akan
menarik masyarakat lain untuk mengunjunginya, sehingga bisa menaikan taraf
hidup dan pendapatan desa. Dengan melestarikan kesenian daerah juga akan
menanamkan nilai-nilai kecintaan pada budaya lokal terhadap generasi muda di
masyarakat jojogan secara khusus dan Masyarakat Pemalang secara umum.
Kesimpulan 

  1. Kesenian tradisional Tari Jaran Kepang dalam tulisan berikut dilihat sebagas identitas kultural Masyarakat Kabupaten Pemalang, yang berfungsi secara sosial dan ritual. Kesenian tradisional ini juga dipercaya masyarakat tidak sekedar sebagai hiburan yang menciptakan kegembiraan, namun ia juga menjadi media yang mampu memfasilitasi doa dan harapan mereka.
  2. Tuntutan globalisasi idealnya harus disikapi sebagai momen yang baik untuk memberi ruang kreatif dan inovatif bagi revitalisasi kesenian tradisional. Generasi Z sebagai pewaris kebudayaan diharapkan ia mampu menciptakan gerakan strategi kebudayaan dan soft diplomacy Kabupaten Pemalang dan membawakanya ke tingkat Nasional dan internasional.
  3. Culture Experience, pentingnya melestarikan kebudaayaan setiap daerah dari generasi ke generasi dan Culture Knowledge, membuat pusat informasi kebudayaan masing-masing, sehingga setiap orang dapat dengan mudah untuk menemukan informasi tentang suatu kebudayaan disuatu daerah.
  4. Dapat memanfaatkan perangkat-perangkat praktis guna mendorong industrialisasi kebudayaan yang bertujuan untuk merevitalisasi kesenian tradisional agar tetap bertahan sekaligus mengimbangi tuntutan globalisasi.

Daftar Pustaka
Irianto, Agus Maladi, Suharyo, dan Hermintoyo (2015). “Mengemas Kesenian
Tradisional Dalam Bentuk Industri Kreatif, Studi Kasus Kesenian
Tradisional” (laporan penelitian). Semarang: LPPM Undip. Dapat di akses
di http://eprints.undip.ac.id/54654/


Irianto, Agus Maladi. (2009). ”Media dan Multikulturalisme” dalam
Multikulturalisme Yogyakarta dan Identitas Keindonesiaan,(Editor: Sri
Rahayu Budiarti dan Muslimin A.R. Effendy). Jakarta: Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.


Irianto, Agus Maladi. (2013). “Mass Media Reality In Indonesia: The Local
Wisdom That Were Marginalized By The TV Broadcast”. Presented
inThe International Seminar on Educationas Media of Socialization
and Enculturation of Local Culture. Held by the Graduate School of
Education and Human Developoment, Nagoya University, Juni 25th .


Irianto, Agus Maladi. (2016b). “Komodifikasi Budaya diEra Ekonomi Global
Terhadap Kearifan Lokal: Studi Kasus Eksistensi Industri Pariwisata
dan Kesenian Tradisional di Jawa Tengah”. Dimuat di Jurnal Theologia.27(1): 212-236 Dapat diakses di https://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/935
 

Irianto, Agus Maladi. (2010). Membuat Film Dokumenter. Semarang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jateng.

Nugraheni, Marina Catur. (2014).“Analisis Sosiologi Budaya dalam KesenianTradisional TradisionalTri Tunggal Muda Budaya,Dusun Gejiwan,Desa Krinjing,Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang”. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa Universitas Muhammadiyah
Purworejo. 4(5), 71-75.

 

PANTAI WIDURI KEBANGGAN WARGA PEMALANG

  PANTAI WIDURI KEBANGGAN WARGA PEMALANG Kabupaten Pemalang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ...