Kamis, 27 Juni 2024

HARMONISASI TRADISI WUNGON: SARANA MENINGKATKAN LITERASI BUDAYA MASYARAKAT BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL - Juara 2 Lomba Essay Nasional 2024 IMPP Pekalongan



HARMONISASI TRADISI WUNGON: SARANA MENINGKATKAN LITERASI BUDAYA MASYARAKAT BERBASIS NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL


Oleh: Hani Hasnah Safitri

        Indonesia memiliki keunggulan sebagai negara multikultularisme yang
damai dan sejahtera dengan pluralitas yang melibatkan keberagaman agama,
budaya, etnis, dan status sosial. Karakteristik masyarakat Indonesia juga dikenal
sebagai masyarakat yang ramah, religus, suka menolong, saling menghargai dan
perilaku moralitas positif lainnya. Terbentuknya karakter nilai-nilai tersebut
disebabkan karena adanya peran adat istiadat atau tradisi yang begitu kuat dalam
kehidupan masyarakat. Meskipun adat dan tradisi di setiap daerah berbeda-beda,
namun secara umum memiliki nilai-nilai kearifan lokal yang sama. Demikian
karena, falsafah adat dan tradisi yang berkembang di masyarakat Indonesia
umumnya menanamkan perilaku moralitas yang baik dan positif. Tapi faktanya, di
era digitalisasi yang semakin maju sekarang ini, generasi Z atau millennial di
Indonesia masih sangat minim yang menerapkan sikap yang positif dalam
kehidupan sehari-hari di lingkungannya. Kasus yang sering terjadi di lingkungan
sekitar seperti berbicara kasar dan tidak menghormati orang tua (Zahra, 2022).
Terlebih kasus tawuran dan sikap individualisme juga mewarnai rendahnya moral
generasi muda. Data dari UNICEF pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kenakalan
remaja Indonesia diperkirakan mencapai 50% (Masyhud, 2023). Dari data tersebut
sangat menggambarkan bahwa generasi muda Indonesia mengalami degradasi
moral yang sangat tinggi.

        Analisis Astuti menyebutkan bahwa keadaan ini terjadi karena kurangnya
tingkat Pendidikan agama yang kuat sehingga mengakibatkan rendahnya moral
(Astuti, 2017). Pendapat lain mengungkapkan bahwa degradasi moral terjadi karena
pengaruh budaya barat yang sangat jauh berbeda dan tidak sesuai dengan budaya
Indonesia yang sopan, santun dan harmonis (Dirgantara, 2021). Selain itu, salah
satu faktor yang menyebabkan degradasi moral generasi muda Indonesia yakni
lemahnya peran budaya lokal dan memudarnya nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini
tentunya sangat disayangkan karena memunculkan celah untuk melakukan suatu
hal yang tidak baik dan berpotensi mengancam rusaknya suatu generasi. Dari sini
kemudian langkah secara cepat dan tepat harus segera dilakukan untuk
menanamkan nilai-nilai kearifan lokal di masyarakat agar dapat terdidik untuk
memiliki pola hidup yang diwarnai nilai-nilai positif dalam kehidupan sehari-hari
dan menghargai pluralitas yang ada guna menjauhkan generasi muda dari perilaku
negatif dengan mengimplementasikan nilai-nilai kearifan lokal di lingkungan
masyarakat yang dapat dilakukan melalui sarana tradisi seperti malam Wungon.

        Penulisan essay ini bertujuan untuk memberikan solusi melalui opini dan
inovasi terkait sarana penanaman nilai-nilai kearifan lokal dalam masyarakat guna
mencegah degradasi moral generasi muda. Untuk itu, essay ini akan berfokus
membahas mengenai bagaimana mengembangkan sarana tradisi masyarakat untuk
meningkatkan literasi generasi muda yang dikaitkan dengan nilai-nilai kearifan
lokal, kemudian penulis inovasikan dengan memadukan tradisi malam Wungon
yang terintegrasi dengan nilai religius, nilai moral, nilai gotong royong dan nilai
toleransi didalamnya.

        Masyarakat di Kabupaten Pemalang, memiliki salah satu tradisi yang cukup
unik dan menarik, tradisi yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya dengan
maksud untuk ngurip-nguripi budaya masyarakat Pemalang. Tradisi tersebut
dikenal dengan istilah Wungon. Tradisi Wungon biasanya dilakukan pada malam
17-an HUT RI. Desa-desa lain di Pemalang juga memiliki tradisi yang sama, namun
tata cara prosesi di tiap-tiap desa memiliki perbedaan dan ciri khas tersendiri dalam
merealisasikannya, meski setiap desa berbeda dalam pelaksanaannya namun tidak
meninggalkan inti dan makna dari tradisi Wungon itu sendiri.

        Tradisi Wungon merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan oleh
masyarakat Pemalang, tradisi ini umumnya dilakukan dengan doa dan dzikir
bersama serta makan bersama sebagai wujud rasa syukur masyarakat Pemalang atas
limpahan rahmat dan nikmat kemerdekaan yang telah diberikan Allah SWT kepada bangsa Indonesia. Acara Wungon pada masyarakat Pemalang dilakukan dengan mengumpulkan semua warga desa dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa
ditempat yang disediakan seperti lapangan desa, balai desa, atau rumah warga yang
luas. Tradisi Wungon ini tetap dilestarikan dan rutin diadakan setiap tahunnya oleh
masyarakat Pemalang di berbagai desa, karena tidak berlawanan dengan ajaran
agama, serta pelaksanaan tradisi yang melibatkan generasi muda tentunya dapat
dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan sikap terpuji dan menguatkan nilai-
nilai kearifan lokal dengan tetap melestarikan budaya Wungon di Pemalang kepada
generasi seterusnya.

        Tradisi Wungon memiliki rangkaian kegiatan yang tidak jauh berbeda,
yakni diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia raya, dilanjut dengan doa dan
dzikir bersama, sambutan-sambutan, pemotongan tumpeng, makan bersama dan
yang terakhir malam Wungon ditutup dengan penyerahan hadiah lomba agustusan.
Umumnya, sebelum pelaksanaan malam Wungon ini warga desa mengadakan
berbagai lomba agustusan dan menghias rumah dengan memasang lampu hias
warna-warni dan memasang bendera disetiap tepi jalan untuk menyemarakkan
HUT RI, kegiatan ini tujuannya untuk mempererat hubungan yang baik antar
masyarakat desa dan memupuk sikap gotong royong. Hal ini didasari penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa tradisi Wungon merupakan akulturasi budaya
dan ritual keagamaan yang mengandung rasa toleransi dan nasionalisme dalam
pelaksanaan tradisinya (Muhammad, 2016). Hasil penelitian lain menunjukkan
bahwa tradisi Wungon yang dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta dan Jawa
mengandung nilai kebersamaan, rasa toleransi, dan kerukunan (Nadia, 2006).
Berdasarkan paparan tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji nilai-nilai kearifan
lokal yang penulis integrasikan dalam tradisi malam Wungon.
        Berikut penulis menguraikan peran tradisi malam Wungon dalam
menginternalisasikan nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat. 

Tradisi Wungon sebagai Penanaman Nilai Religius
        Eksistensi tradisi Wungon sebagai budaya nusantara seolah dapat
menanamkan nilai religius, hal ini dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama,
bentuk nilai religius dalam tradisi Wungon berupa keyakinan masyarakat Pemalang
bahwasannya Allah SWT lah yang memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dan hanya kepada Allah SWT lah masyarakat Pemalang meminta
perlindungan atas negara dan daerahnya. Tradisi Wungon merupakan sarana yang
tepat dalam penanaman nilai religius. Kedua, realita ini dapat diamati dari kegiatan
tradisi Wungon yang diisi oleh rangkaian kegiatan salah satunya yaitu istighosah
atau do’a bersama yang bertujuan memohon pertolongan dari Allah SWT,
istighosah dalam tradisi ini dipimpin oleh seorang imam dengan melantunkan ayat-
ayat Al-Qur’an, istighfar, sholawat, tahlil, wirid dan ditutup dengan do’a bersama,
serta dilakukan secara berjamaah yang tentunya lebih memberikan rasa semangat
pada masyarakat Pemalang yang mengikutinya. Kegiatan ini sebenarnya adalah
proses membangkitkan jiwa agar memiliki keyakinan kepada Allah dan tentu
berkaitan erat dengan sisi spiritual/religius seseorang. Sejalan dengan penelitian
Putra yang menjelaskan bahwa kegiatan ini berisi dzikrullah dengan tujuan
taqarrub ilaallah (mendekatkan diri kepada Allah SWT) sebagai representasi nilai
religius (Putra, 2017). 

Tradisi Wungon sebagai Pembentuk Nilai Moral
        Nilai-nilai kearifan lokal yang berbicara tentang moral atau akhlak tentunya
sangat erat kaitannya dengan kebiasaan manusia. Dalam tradisi Wungon juga
mempunyai peranan penting sebagai sarana pembentuk nilai-nilai moral pada
masyarakat khususnya generasi muda, tentunya dengan membentuk dan
menanamkan nilai-nilai moral yang baik pada generasi muda maka akan terbentuk
karakter yang baik dan dapat mencegah terjadinya degradasi moral. Terkait dengan
nilai moral, masyarakat Pemalang menjalankan tradisi Wungon yang menunjukkan
bagaimana menghormati orang yang lebih tua dengan mempersilakan yang lebih
tua duduk di depan dan yang muda duduk di belakang. Tradisi Wungon mempunyai
prinsip falsafah hidup bermasyarakat yaitu andhap asor yang berarti moral/etika
sopan santun dan kerendahan hati. Hal ini terlihat dari sikap dan tindakan
masyarakat pada acara Wungon, seperti dari cara mereka duduk bersila di atas tikar,
cara mereka berjalan melewati orang yang lebih tua dengan membungkukkan badan
diikuti dengan ucapan “nuwun sewu”, dan dari cara mereka berbicara dengan orang
yang lebih tua dengan lembut dan menggunakan bahasa krama/bahasa yang sopan.
Ajaran moral seperti itu telah diintegrasikan ke dalam tradisi Wungon.

Tradisi Wungon sebagai Wujud Nilai Gotong-royong
        Tradisi Wungon merupakan sarana yang tepat untuk mengaplikasikan nilai
gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Realita ini dapat diperhatikan dari
dua konteks; Pertama, terlihat dari sikap gotong royong warga yang berpartisipasi
dalam proses pelaksanaan tradisi Wungon dari awal hingga akhir acara, seperti
saling bahu membahu dalam mengadakan kemeriahan lomba, saling berbagi nasi
tumpeng yang telah disediakan, bapak-bapak dan pemuda-pemuda saling bantu-
membantu membuat panggung acara, sedangkan ibu-ibu dan pemudi-pemudi
bertugas menyajikan hidangan. Hal ini seolah mengindikasikan bahwa tradisi
Wungon memiliki makna filosofis sebagai kearifan lokal dalam masyarakat yang
menggambarkan kebersamaan. Kedua, tradisi Wungon mengajarkan kepada
generasi muda, terlebih anak-anak kecil untuk ikut berpartisipasi dalam
menyelenggarakan acara Wungon dengan turut serta membantu menggelar tikar
untuk tempat duduk warga saat malam Wungon dimulai. Kebersamaan,
kekompakan, kekeluargaan, dan keramahan, serta indahnya berbagi sangat terlihat
dan dirasakan masyarakat dalam tradisi Wungon. 

Tradisi Wungon sebagai Representasi Nilai Toleransi
        Potensi kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi Wungon dapat
dimanfaatkan sebagai sarana untuk mengenalkan dan mengedukasi nilai toleransi
kepada masyarakat khususnya generasi muda. Nilai toleransi ini dapat terlihat dari
dua hal. Pertama, tradisi Wungon sangat menekankan nilai musyawarah, seperti
sebelum melaksanakan tradisi Wungon ketua RT setempat akan melakukan
musyawarah dengan beberapa warga desa mengenai prosesi acara malam Wungon
yang akan dilaksanakan. Disisi lain, warga juga menghargai pendapat orang lain
sebagai bagian penting dari harmoni. Penyampaian pendapat saat musyawarah
menjadi salah satu aspek dalam toleransi, musyawarah atau urun rembuk menjadi
wujud toleransi antar sesama untuk mencari kesepakatan bersama dalam hal
tertentu (Azmi, 2022).
        Kedua, menjaga silaturahmi/persaudaraan dengan mengutamakan rasa
hormat dan memahami hakikat perbedaan dalam masyarakat, seperti tradisi
Wungon yang diikuti oleh berbagai jenis kalangan, dari mulai anak-anak, remaja, hingga orang dewasa dengan berbagai latar belakang agama maupun status sosial
yang tentunya dapat menjaga tali persaudaraan sesama manusia. Tindakan tersebut
menunjukkan bahwa tidak ada ketentuan bahwa hanya warga muslim saja yang
boleh mengikuti tradisi ini, tetapi warga yang beragama lain juga bisa mengikuti
tradisi Wungon. Hal ini seperti mengajarkan bahwa agama islam merupakan agama
yang menghargai pluralisme masyarakat. Toleransi masyarakat terlihat dan
terpelihara melalui pelaksanaan tradisi yang dilakukan secara bersama-sama oleh
masyarakat tanpa memandang atau membedakan latar belakang agama, ras, dan
etnis, sehingga masyarakat mampu mewujudkan tradisi tersebut agar dapat
terlaksana dengan baik.

        Nilai-nilai baik yang ditunjukkan oleh para warga dalam menyelenggarakan sebuah tradisi tersebut yang kemudian semakin memotivasi penulis untuk beropini melalui karya essay ini, bahwa kearifan lokal dan budaya masyarakat sebagaimana yang penulis uraikan dalam tradisi Wungon menjadi solusi terbaik guna mengatasi lemahnya kasus-kasus moral pada generasi muda di Indonesia akibat dari lemahnya literasi mengenai budaya di sekitarnya. Nilai-nilai kearifan lokal yang terintegrasi dalam tradisi Wungon menjadikan masyarakat khususnya generasi Z dan millennial belajar makna perilaku positif secara langsung melalui sebuah tradisi. Tradisi Wungon yang melibatkan generasi muda sebagai bentuk upaya untuk dapat menanamkan dan menguatkan nilai-nilai kearifan lokal generasi muda dengan tetap melestarikan budaya masyarakat Pemalang. Selain itu, tradisi ini dapat meningkatkan literasi generasi muda mengenai budaya di sekitar mereka. Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai kearifan lokal sejak dini akan lebih mudah terrealisasikan demi terjaganya tradisi dan budaya masyarakat Pemalang dan mewujudkan Indonesia sebagai negara yang memiliki generasi muda yang berkualitas tanpa adanya perpecahan. Selain itu,
essay ini juga dapat dijadikan sebagai landasan dalam mengintegrasikan praktik-
praktik budaya sebagai penghantar kerukunan, serta meningkatkan literasi generasi
muda terkait nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada sebuah tradisi di
Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Astuti, A. Y. (2017). Analisis Faktor-Faktor Penyebab Degradasi Moral Remaja
Dalam Perspektif Islam di Desa Jojog Kecamatan Pekalongan Kabupaten
Lampung Timur. IAIN Metro.

Azmi, M. (2022). Pengamalan Nilai-Nilai Toleransi Siswa SMA Negeri 3 Palangka
Raya sebagai Bentuk Moderasi Beragama. ISLAMIKA, 4(1), 37–46.
https://doi.org/10.36088/islamika.v4i1.1594

Dirgantara, Y. (2021, May 11). Fanatisme Budaya Barat dan Dampak Degradasi
Moral. Duta Damai Yogyakarta. https://dutadamaiyogyakarta.id/fanatisme-
budaya-barat-dan-dampak-degradasi-moral/

Masyhud. (2023). Cegah Kenakalan di Kalangan Pelajar—Bhirawa—UMM dalam Berita  Koran  Online | Universitas Muhammadiyah Malang. Https://Www.Umm.Ac.Id/Id/Arsip-Koran/Bhirawa/Cegah-Kenakalan-Di-Kalangan-Pelajar.Html. https://www.umm.ac.id/id/arsip-koran/bhirawa/cegah-kenakalan-di-kalangan-pelajar.html

Muhammad, W.I. (2016). REINFORCE NATIONALITY THROUGH RELIGIOUS LOCAL TRADITION (CASE STUDY OF MALAM TIRAKATAN IN YOGYAKARTA). 14(2).

Nadia, Z. (2006). Makna Tirakatan bagi masyarakat Santri Yogyakarta: Studi atas
Tradisi Malam Tirakatan dalam rangka memperingati HUT RI pada
Masyarakat Kauman dan Mlangi Yogyakarta [Universitas Gadjah Mada].
https://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/32819

Putra, K. S. (2017). IMPLMENTASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MELALUI
BUDAYA RELIGIUS (RELIGIOUS CULTURE) DI SEKOLAH. Jurnal
Kependidikan, 3(2), 14–32. https://doi.org/10.24090/jk.v3i2.897

Zahra, M. (2022). 5 Bentuk Degradasi Moral yang Sering Dijumpai di Lingkungan
Sekitar. https://www.idntimes.com/life/inspiration/mutia-zahra-4/bentuk-
degradasi-moral-c1c2


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PANTAI WIDURI KEBANGGAN WARGA PEMALANG

  PANTAI WIDURI KEBANGGAN WARGA PEMALANG Kabupaten Pemalang merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ...